"Dari dulu sampai sekarang ya tetap seperti ini, tidak ada campuran lainnya. Memang mempertahankan kekhasannya,"
Merdeka.com, Semarang - Jajanan zaman dulu alias jadul masih menjadi idola para pecinta kuliner di Indonesia. Tak jarang, orang harus berburu ke berbagai daerah untuk menikmati penganan yang biasa mereka nikmati di masa kecil.
Melihat hal itu, sejumlah penjual jajanan jadul seperti ketiban rezeki. Subandi, 62, misalnya. Pria asli Semarang tersebut masih setia menjajakan penganan bernama pisang plenet yang dia tekuni sejak puluhan tahun silam.
Saat dikunjungi, Subandi tengah membolak-balikkan pisang jualannya. Tak perlu waktu lama hanya 1-1,5 menit saja, satu persatu dari beberapa buah pisang telah berubah warna menjadi coklat kehitaman. Pada tiap-tiap buah diletakkan di plastik bening segi empat memanjang.
"Iki jenenge pisang plenet (Ini namanya pisang plenet). Nggawene diplenet-plenet, dipenyet (cara membuatnya ya ditekan-tekan)," katanya.
Entah dari mana asal sebutan tersebut, yang pasti, kata Subandi, pisang bakarnya bernamakan "Pisang Plenet Khas Semarang Pemuda Pak Subandi" sebagaimana tertulis di gerobaknya tanpa berubah sejak awal hingga kini.
Subandi pun bercerita, jajanan berbahan dasar pisang kepok tersebut sudah ada sejak 1950-an. Menurutnya, kala itu, sang kakek menjadi perintis pertama merasa bosan dengan camilan tempo dulu yang hanya seputar singkong atau ubi rebus maupun goreng.
Lantas, sang kakek mencoba untuk mengkreasikan pisang dengan cara dibakar dan diplenet hingga pipih dengan memasukkan isian gula, selai nanas dan mentega. Kreasinya pun sempat populer pada masa itu.
"Dari dulu sampai sekarang ya tetap seperti ini, tidak ada campuran lainnya. Memang mempertahankan kekhasannya," ucapnya.
Bisnis jajanan tradisional tersebut dilakukan Subandi secara turun temurun. Pada generasi kedua usaha pisang plenet dimotori oleh kakaknya. Kala itu, kata Subandi, pisang plenet diperjualbelikan hingga 12 titik di Kota Semarang. Hingga akhirnya, tinggal dia saja yang meneruskan bisnis tersebut.
"Semua racikan hingga bahan-bahannya pun masih dibuat sama persis dengan yang dirintis kakek," terangnya.
Satu porsinya yang terdiri dari 4 buah pisang kepok dibanderol Rp12 ribu. Setiap harinya, Subandi biasa mangkal di Jalan Pemuda dari pukul 14.00-24.00WIB. Terkadang dia berangkat lebih sore dan pulang lebih awal bergantuung kondisi kesehatan dan ramai-sepinya pembeli.
"Untuk penghasilan, semua saya pasrahkan pada istri. Namun biasanya, perhari bisa habis 30 sisir pisang," terangnya.
Kini, Subandi ingin terus melanjutkan bisnis warisan dari sang kakek selagi masih sehat dan mampu. Dia juga sudah mengajak anak dan keponakannya untuk ikut serta menjajakan pisang plenet di Semarang.
Tercatat total 5 tempat pisang plenet dijajakan. Satu titik di Jalan Gajahmada, 2 titik di Semawis Pecinan, dan 2 titik di Jalan Pemuda.
"Pisang plenet onone mung ning (adanya cuma di) Semarang. Sekeluarga sing dodolan (yang jualan). Saiki garek limo (sekarang tinggal lima), maune 12 (sebelumnya 12)," pungkas Subandi.