"Ini berkah Ramadan, sehari paling tidak rata-rata saya bisa menjual sepuluh buah."
Merdeka.com, Semarang - Tangan Junarso, 48, begitu terampil merangkai bilah-bilah bambu menjadi kerangka berbentuk prisma bersegi delapan. Kemudian dengan telaten dia memasang kertas minyak bewarna putih yang telah dipotong satu persatu melingkar pada kerangka bambu tersebut.
Pada bagian tengah rangka diletakkan sebuah bambu yang dibentuk melengkung. Bambu tersebut ternyata berfungsi sebagai sumbu dan tempat kertas yang telah dibuat pola gambar. Kemudian di bagian bawah sumbu diberi lilin sebagai bahan bakar.
Setelah jadi, lilin yang ada di tengah tersebut kemudian disulut. Jika lilin yang ada di dasar disulut api, kipas itu akan bergerak didorong oleh energi panas dan asap yang keluar. Kalau kipas sudah berputar, gambar-gambar kertas yang ada di bawahnya juga turut berputar. Nantinya keluar bayangan naga, petani, gerobak, penari, burung dan becak.
"Ini namanya Teng-Tengan atau Damar Kurung biasa dikenal masyarakat Purwosari Perbalan. Bentuknya seperti lampion, tapi dalamnya dikasih sumbu dengan gambar tertentu. Ini saya buatnya hanya selama Ramadan saja," ujar warga RT 7 RW 5 Purwosari Perbalan, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Semarang Utara ini.
Junarso menerangkan, Teng-tengan tersebut dijual mulai Rp 15 ribu - Rp 20 ribu perbuah. Biasanya,Teng-tengan digunakan untuk penerangan saat membangunkan orang sahur, takbiran dan juga ditaruh sebagai hiasan rumah.
Beberapa kali dirinya mendapat pesanan dari luar kota, seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Jika tidak mendapatkan pesanan, dia biasanya menjual dengan berkeliling ke beberapa wilayah. "Sehari biasanya bisa membuat sekitar 20 buah. Tapi kalau ada pesanan banyak saya menambah tenaga serabutan," imbuhnya.
Teng-tengan, lanjut dia, tidak hanya menjadi pekerjaan serabutan selain bekerja sebagai tukang becak dan kuli bangunan. Namun, kerajinan tersebut telah menjadi berkah selama Ramadan karena dapat menambah penghasilan. "Ini berkah Ramadan, sehari paling tidak rata-rata saya bisa menjual sepuluh buah. Memang tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, tapi lumayan bisa menambah penghasilan," tegasnya.
Sementara itu, salah satu warga Purwosari Perbalan, Alvian Saechu mengaku, Teng-tengan sudah ada sejak dirinya kecil sekitar tahun 1960-an. Menurutnya, saat itu Kampung Purwosari Perbalan masih berupa rawa dan belum teraliri listrik. Kemudian seorang yang dikenal dengan Mbah Saman mulai membuat Teng-tengan yang digunakan untuk penerangan tradisional.
"Dulu itu, saat Ramadan di sini itu sangat minim penerangan dan listrik belum ada, sedangkan jalan menuju musala itu gelap. Akhirnya Teng-tengan itu digunakan sebagai penerangan," ucapnya.