"Jadi mari tingkatkan optimisme agar dapat semakin saling menguatkan,”
Merdeka.com, Semarang - Perekonomian global yang menunjukan risiko perlambatan pertumbuhan dalam jangka menengah, mengakibatkan menurunnya nilai mata uang di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Hal itu membuat beberapa negara dan kota cemas, termasuk Kota Semarang yang dipimpin Wali Kota Hendrar Prihadi.
Kondisi tersebut juga mengancam Kota Semarang menjadi daerah dengan ketimpangan masyarakat terbesar di Indonesia seperti terjadi krisis ekonomi global pada rentang tahun 2008-2009. Dimana dalam masa itu, ketimpangan masyarakat miskin dan kaya di Kota Semarang mengalami kenaikan tajam, dari yang semula pada tahun 2008 ada pada point 0,26 menjadi 0,37 pada tahun 2009.
Angka tersebut terbesar di Provinsi Jawa Tengah dengan ketimpangan masyarakat sebesar 0,37 di tahun 2009. Dibandingkan kota lain jauh lebih kecil dari Semarang, antara lain Kota Solo yang sebesar 0,27, Salatiga dengan catatan, 0,29, dan Kendal ada pada angka 0,22.
Kondisi hampir sama dialami Kota Bandung dengan ketimpangan sebesar 0,37, terbesar dibandingkan dengan Kota Surabaya yang mampu bertahan di angka 0,32 bahkan Kota Denpasar mampu menjaga ketimpangan di titik 0,26.
Namun Kota Semarang di era kepemimpinan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi sejak tahun 2012 berbenah dengan cepat. Hendi, panggilan akrab Hendrar Prihadi melakukan reformasi struktural dengan berbagai kebijakan ekonomi kerakyatan.
Salah satunya dengan melakukan upaya reformasi struktur konsentrasi ekonomi Kota Semarang yang semula dominan di sektor Industri menjadi lebih berkonsentrasi pada sektor Perdagangan dan Jasa. Kebijakan menghentikan penambahan kawasan industri di Kota Semarang hingga pengembangan pariwisata pun diambilnya.
Alhasil, saat perlambatan ekonomi global yang kembali terjadi pada tahun 2015, Kota Semarang justru mampu menahan ketimpangan masyarakat lebih rendah dari sebelumnya di angka 0,31.
Catatan ketimpangan masyarakat miskin dan kaya di Kota Semarang pada tahun 2015 tersebut bahkan menjadi salah satu yang terendah pada Provinsi Jawa Tengah di bawah Solo dengan 0,36, serta Salatiga dengan 0,35, dan bahkan di bawah Kendal yang ada diangka 0,34.
Tak hanya di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Hendi juga seakan membuktikan kebijakan reformasi struktural yang dilakukannya menjadi salah satu yang paling tepat di Indonesia. Karena dengan catatan Gini Rasio sebesar 0,31 di tahun 2015, Kota Semarang mampu menjaga kondisi ekonomi lebih stabil dibandingkan kota-kota besar lainnya, misalnya Kota Surabaya yang melompat jauh ketimpangan masyarakatnya diangka 0,42, atau Kota Denpasar yang juga naik diangka 0,35, juga Kota Bandung yang ketimpangannya semakin parah diangka 0,44.
Selain terkait ketimpangan masyarakat, tren positif Kota Semarang untuk mewujudkan kesetaraan yang terlihat dari penurunan angka kemiskiskinan yang terjadi di Kota Semarang. Selama era kepemimpinan Hendi, Kota Semarang dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) mampu melakukan penurunan angka kemiskinan sempurna (tanpa fluktuasi) dari tahun 2013 sebesar 5,25% menjadi 4,62% di tahun 2017.
Bahkan indeks keparahan kemiskinan di Kota Semarang tercatat sangat kecil diangka 0,12% yang menggambarkan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin dan kaya semakin kecil. “Beberapa catatan di tahun ini dapat meyakinkan, pertama kalinya dalam sejarah bahwa pada saat Bulan Ramadan, inflasi di Kota Semarang justru turun, dan harga-harga juga stabil. Ini membuktikan bagaimana kokoh dan kuatnya ekonomi kita saat ini. Jadi mari tingkatkan optimisme agar dapat semakin saling menguatkan,” ujar pria yang akrab disapa Hendi ini.
Apa yang disebutkan Hendi merujuk pada catatan BPS yang menunjukkan tingkat inflasi di Kota Semarang saat Ramadan tahun ini berhasil ada pada angka -0,09%. Padahal dua tahun sebelumnya saat Ramadan berlangsung di bulan Juni 2016, inflasi Kota Semarang tercatat amat tinggi pada angka 1,05%. Dan juga di tahun 2017, inflasi di Kota Semarang tercatat juga masih tinggi sebesar 0,37%.
Dengan nilai inflasi di bawah 0% itulah tren harga-harga pasaran di Kota Semarang untuk pertama kalinya dalam sejarah dapat mengalami penurunan positif. “Kita bicaranya data saja, kalau dikatakan ada orang yang punya usaha lalu gagal, atau bahkan juga ada masyarakat miskin yang masih susah hidupnya ya pasti ada. Angka kemiskinan sebesar 4,62% bukan jumlah yang sedikit saya akui. Tapi kalau bicaranya ‘semakin banyak’ atau ‘bertambah’ ya tunggu dulu, karena datanya toh tidak begitu dan optimisme harus dibangun,” ujar Hendi.
Dia menegaskan bahwa kekhawatiran tentang adanya gejolak ekonomi di Indonesia, khususnya Kota Semarang dalam kondisi perlambatan ekonomi global ini tidak akan terjadi. "Karena sudah jelas apa yang dibahas dalam G20, bahwa tren kenaikan nilai tukar ini karena Bank Sentral menaikkan suku bunga, meskipun di sisi lain kondisi ekonomi domestik masih kuat dan kokoh. Ini yang harus digarisbawahi," papar Wali Kota Hendi yang juga politisi PDI Perjuangan tersebut.