1. HOME
  2. KABAR SEMARANG

Masjid Tasripin, saksi bisu kejayaan pribumi pada masa penjajahan Belanda

“Masjid ini dulunya hanya sebuah langgar atau musala kecil yang terbuat dari kayu jati dengan tingkat dua."

Masjid At Taqwa berdiri kokoh di Kampung Kulitan Kora Semarang. Masjid ini merupakan peninggalan Tasripin, pribumi terkaya di masa penjajahan Belanda.. ©2016 Merdeka.com Editor : Nur Salam | Contributor : Andi Pujakesuma | Kamis, 24 Mei 2018 16:14

Merdeka.com, Semarang - Masjid bercat hijau itu berdiri kokoh di tengah perkampungan bernama Kampung Kulitan, Jalan MT Haryono Kota Semarang. Masjid tingkat dua tersebut terhimpit bangunan-bangunan rumah yang ada di sekitarnya. Sekilas, tak ada yang istimewa dari bangunan masjid bernama Masjid At-Taqwa itu. Namun siapa sangka, jika masjid tersebut merupakan saksi sejarah kejayaan Tasripin, warga pribumi terkaya di Kota Semarang pada zaman penjajahan Belanda.

Karena kisahnya itu, masjid At-Taqwa atau yang lebih dikenal warga dengan sebutan Masjid Tasripin ini menjadi salah satu bangunan bersejarah di Kota Semarang. Masjid tersebut bahkan telah ditetapkan sebagai bangunan bersejarah oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.

Menurut keterangan warga sekitar, masjid tersebut dibangun oleh Tasripin sebagai tempat beribadah keluarganya juga para pekerjanya. Waktu itu, Tasripin merupakan saudagar kaya raya di bidang kulit untuk dibuat sepatu dan diekspor ke Belanda.

Selain menjadi pengusaha, Tasripin juga dikenal sebagai tuan tanah di Kota Semarang. Hingga kini, tanah peninggalan Tasripin masih banyak, yakni di kawasan Jalan MT Haryono Kota Semarang. “Masjid ini dulunya hanya sebuah langgar atau musala kecil yang terbuat dari kayu jati dengan tingkat dua. Bagian bawah untuk wudlu, sementara bagian atas untuk salat dan kegiatan ibadah lainnya,” kata Mariman, 61, warga sekitar Masjid Tasripin.

Masih segar di benak Mariman, saat dia kecil dulu sering mengaji di langgar milik Tasripin itu. Bahkan, hampir setiap malam dia bersama anak-anak kecil seuisianya sering tidur di langgar setelah acara mengaji selesai. “Saya lahir sekitar tahun 1952 dan langgar ini sudah berdiri. Saat saya kecil sering mengaji di sini bersama kawan-kawan saya,” imbuhnya.

Sementara itu, Sugibudi Santoso, 52 salah seorang keturunan Tasripin mengatakan jika pembangunan langgar itu dilakukan pada sekitar tahun 1825. Dia membenarkan jika masjid tersebut waktu itu hanya sebuah langgar kecil dengan bahan bangunan dari kayu jati.

“Sebelum direnovasi menjadi masjid seperti ini, dulunya hanya sebuah langgar kecil berukuran sekitar 4x8 meter. Saya sendiri kurang tahu kapan langgar ini dibangun oleh eyang Tasripin, namun dari cerita yang saya dengar, kira-kira langgar dibangun sekitar tahun 1825,” kata Sugi.

Pembangunan langgar itu, imbuh Sugi, dilakukan Tasripin sebagai tempat ibadah keluarganya. Sebab, seluruh keluarga Tasripin tinggal dalam satu kompleks yakni di sekitar Kampung Kulitan Kota Semarang.

“Selain untuk kegiatan ibadah keluarga, langgar ini waktu itu juga diperuntukkan bagi para pekerja atau buruh pabrik kulit milik eyang saya, karena waktu itu eyang memiliki pekerja yang cukup banyak untuk mengelola usahanya dari berbagai daerah di sekitar Semarang,” imbuhnya.

Sugi menambahkan, sekitar tahun 1998 tepatnya saat krisis moneter, langgar Tasripin tersebut mengalami pemugaran. Setelah pemugaran itu, hampir semua bangunan di tempat itu sudah tidak asli lagi.

“Setelah renovasi itu hampir semuanya dipugar, yang asli saat ini hanya beberapa saja seperti bedhug dan kenthongan masjid. Benda itu masih asli sejak langgar ini dibangun hingga sekarang, usianya ya ratusan tahun,” ujarnya.

Sugi mengaku sangat senang ketika masjid peninggalan eyangnya itu dijadikan sebagai salah satu benda bersejarah bagi Kota Semarang. Dia berharap pemerintah lebih serius dan sungguh-sungguh untuk memelihara peninggalan itu.

“Saya harap Pemerintah Kota Semarang bisa mengabadikan peninggalan eyang saya ini. Jika memang ditetapkan sebagai bangunan bersejarah bagi Kota Semarang, saya berharap ada dana perawatannya, karena terus terang saja untuk merawat peninggalan eyang saya ini membutuhkan biaya yang cukup besar,” pungkasnya.

(NS) Laporan: Andi Pujakesuma
  1. Cagar Budaya
  2. Pernik Ramadan
KOMENTAR ANDA