1. HOME
  2. KABAR SEMARANG

Mengenal Wayang Sadat, media dakwah Islam koleksi Museum Peradaban Islam MAJT

"Kalau boleh dikatakan, wayang Sadat adalah Wayang Purwa yang di-Islamkan,”

Koleksi Wayang Sadat di Museum Peradaban Islam MAJT. ©2016 Merdeka.com Editor : Nur Salam | Contributor : Andi Pujakesuma | Minggu, 03 Juni 2018 15:58

Merdeka.com, Semarang - Islam disebarkan di bumi Nusantara oleh para Wali Songo dengan damai. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penyebaran itu adalah dengan pendekatan seni budaya. Salah satu seni budaya yang menjadi media dakwah adalah wayang. Di kalangan umat Islam, jenis wayang banyak bermunculan yang digunakan sebagai media dakwah. Seperti Wayang Purwa, Wayang Golek Menak, Wayang Suluh dan wayang lainnya.

Dari beragam wayang dakwah Islam itu, Museum Peradaban Islam Masjid Agung Jawa Tengah mengoleksi salah satu wayang yang digunakan untuk penyebaran agama Islam tempo dulu. Wayang tersebut adalah Wayang Sadat, singkatan dari kata Syahadattain yang berarti dua Kalimah Syahadat.

“Ada pula yang menyebut Wayang Sadat ini akronim dari Sarana Dakwah dan Tabligh. Sesuai dengan namanya, memang wayang Sadat adalah salah satu jenis wayang yang digunakan untuk media dakwah Islam di Nusantara khususnya di Pulau Jawa,” kata salah satu petugas Museum Peradaban Islam MAJT, Edi Suyadi.

Wayang Sadat, lanjut Edi, adalah hasil karya seorang dalang asal Klaten bernama Ki Suryadi. Wayang ini berkembang di Dusun Mireng, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten dan diciptakan pada tahun 1985. Konsep Wayang Sadat saat tampil berbeda dari pagelaran wayang lainnya, khususnya Wayang Purwa. Lakon yang dibawakan tidak menganut pada cerita Mahabarata atau Ramayana, melainkan cerita tokoh Islam tempo dulu seperti para wali, raja-raja Islam dan sebagainya.

Para tokoh yang ditampilkan juga berbeda-beda. Jika Wayang Purwa mengedepankan tokoh Mahabarata seperti Arjuna, Krisna, Bima, Sadewa dan sebagainya, tokoh di Wayang Sadat adalah tokoh Islam seperti Sunan Kalijaga, Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan wali-wali lainnya di Tanah Jawa saat itu.

“Wayangnya juga berbeda, meski sama-sama dari kulit yang disamak, namun pakaian Wayang Sadat lebih Islami. Misalnya tokoh yang dimainkan mengenakan baju panjang dan sorban layaknya para wali, perempuannya menggunakan jilbab dan baju tertutup serta gunungan yang bertuliskan kaligrafi Arab,” terangnya.

Selain dari tokoh wayangnya, pakaian dalang, penabuh karawitan serta sinden saat memainkan wayang itu juga menggunakan pakaian berbeda dengan dalang saat pentas Wayang Purwa. Dalang tidak mengenakan beskap (pakaian adat Jawa), Jarik, Keris dan Blangkon melainkan menggunakan pakaian Islam dan bersorban. "Pun dengan sinden, semuanya menggunakan jilbab pakaian tertutup rapat," tukasnya.

Sementara itu, menurut keterangan Dosen Islam dan Kebudayaan Jawa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Anasom mengatakan, Wayang Sadat merupakan salah satu jenis wayang dakwah Islam. Dari sisi jenis, Wayang Sadat hampir sama dengan wayang kulit lainnya. “Hanya saja cerita yang dibawakan berbeda dan lebih ke cerita tokoh-tokoh Islam seperti para wali, kyai, ulama dan sebagainya. Kalau boleh dikatakan, wayang Sadat adalah Wayang Purwa yang di-Islamkan,” kata dia.

Cerita-cerita yang dibawa, lanjut Ketua DPC Nahdlatul Ulama Kota Semarang ini, seperti cerita para wali, cerita Dewaruci, Suluk Linglung Sunan Kalijogo serta cerita lainnya. Ada pula cerita-cerita raja-raja Islam zaman dahulu yang berkuasa di negeri ini seperti Demak Bintoro, Mataram Islam dan lain sebagainya.

Dahulu, kata Anasom, Wayang Sadat ini sering dipentaskan di kalangan masyarakat. Di sela pementasan, sang dalang selalu menyelipkan kalimat syahadat, ayat-ayat suci Al-quran serta petuah-petuah hidup Islami. Selain itu, dahulu pementasan Wayang Sadat ini sering ditampilkan di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI), sebagai satu-satunya televisi di Indonesia zaman orde baru itu.

“Wayang Sadat memang kalah pamor dibanding wayang lain seperti Wayang Purwa yang sampai saat ini masih eksis. Namun Wayang Sadat merupakan salah satu media dakwah yang cukup baik dan diterima oleh masyarakat luas saat itu,” pungkasnya.

(NS) Laporan: Andi Pujakesuma
  1. Budaya
  2. Pernik Ramadan
KOMENTAR ANDA