Gambang Semarang lahir melalui tahapan dari empat generasi di Kota Semarang.
Merdeka.com, Semarang - Gambang Semarang merupakan kesenian tradisional khas Kota Semarang. Dalam perjalanannya, kesenian ini mengalami pasang surut. Menurut pengamat budaya Kota Semarang, Andang Adi Wibawa, keberadaan Gambang Semarang merupakan salah satu bentuk kesenian musik.
Dia menerangkan, Gambang Semarang lahir melalui tahapan dari empat generasi di Kota Semarang. Generasi pertama, kata dosen Udinus ini, adalah generasi Lie Hoo Soen dkk pada tahun 1930-an. Pada saat itu, Lie Hoo Soen menggagas perlunya kesenian khas Kota Semarang.
"Dengan mengacu pada Gambang Kromong dari Betawi, kemudian terciptalah Gambang Semarang. Pementasan pertama saat itu di Kelenteng Tay Kak Sie, dan pada saat itu pula tercipta lagu Gambang Semarang antara Oei Yok Siang sebagai pembuat lagu dan Sidik Pramono sebagai penulis syair," terangnya dalam diskusi Asli Gambang Semarang yang di gelar di Gedung Oudetrap Kawasan Kota Lama Semarang, Rabu (15/8).
Generasi pertama ini, lanjut Andang, bubar pada tahun 1942 di Magelang saat perang. Kemudian, pada tahun 1949, The Lian Kian memulai kembali Gambang Semarang dengan perangkat Gambang Kromong untuk menghidupkan kembali Gambang Semarang. "Sayangnya The Lian Kian tidak lama mengelola Gambang Semarang, setelah itu kemudian Gambang Semarang mati lagi," ucapnya.
Setelah itu, muncul generasi kedua kesenian Gambang Semarang pada tahun 1957 dengan tokoh Yaw Tia Boen. Pada masa ini, dia juga mulai mengkolaborasikan dengan warna musik lain, seperti jazz, keroncong, dangdut dan lagu barat. "Dan pada masa ini, alat musik yang digunakan juga mulai mengalami inovasi, seperti menggunakan bass, saxofon, clarinet, orkes keroncong, alat musik tiup dan drum," kata dia.
Yaw Tia meninggal pada tahun 1960 an. Sepeninggal dirinya, kehidupan kelompok Gambang Semarang semakin suram. Namun menurut beberapa literatur, Gambang Semarang masih sering pentas di sejumlah tempat, seperti di Restoran Oen, Kampung Gendingan, Hotel Sampoerna dan sebagainya.
Namun, lanjut dia, itu tidak berlangsung lama. Saat pecah peristiwa G30S/PKI, segala aktivitas latihan dan pertunjukan Gambang Semarang tidak ada lagi. Saat itu, banyak buku dan catatan lagu dibakar, alat musik dihancurkan hingga habis.
"Baru muncul generasi ketiga dengan tokoh utamanya adalah Sunoto yang pentas dengan Gambang Semarang di Hotel Patra Jasa pada tahun 1974. Selain Sunoto, generasi ketiga ini ada juga tokoh lain seperti Bah Kalud dan Jayadi," terangnya.
Bahkan dari Bah Kalud dan Jayadi inilah, mereka mendirikan Paguyuban Gambang Semarang dan mendapat pengesahan dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng pada tahun 1979 sebagai kategori kesenian rakyat.
"Sementara generasi keempat muncul tahun 1980-an dengan tokoh seperti Burhanuddin yang memimpin group Aktivitas Seniman Remaja (ASR) dan membetuk Gambang Remaja tahun 1985. Selain itu, Jayadi juga mendirikan kelompok dengan nama Sentra Gambang Semarang pad 1986 dan Amen Budiman dengan Perkumpulan Gambang Goyang," ucap dia.
Andang menegaskan, bahwa Gambang Semarang sebagai kesenian tradisional terus mengalami perkembangan. Sebagai sebuah kebudayaan, memang selalu berkembang dinamis, cair dan merupakan produk konstruksi sosial.
"Gambang Semarang memang menjadi contoh adanya multikulturalisme budaya di Kota Semarang. Di dalam Gambang Semarang, terjadi dialog budaya yang sangat kental dimana ada warna dari sejumlah ekspresi budaya di dalamnya," tutupnya.