1. HOME
  2. KABAR SEMARANG

Mengunjungi Masjid An-Nur Menyanan Pecinan Kota Semarang

Simbol toleransi, bekas tempat mengaji Pangeran Diponegoro

Masjid An-Nur Menyanan Semarang. ©2016 Merdeka.com Editor : Nur Salam | Contributor : Andi Pujakesuma | Jum'at, 01 Juni 2018 16:23

Merdeka.com, Semarang - Suara adzan dzuhur menggema memecah keramaian kawasan Pecinan Kota Semarang, di kala siang. Alunannya yang merdu membuat hati tentram di tengah terpaan mentari Kota Semarang yang panas dan badan yang berjuang melawan dehidrasi karena melaksanakan ibadah puasa.

Mendengar suara adzan di kawasan Pecinan memang cukup aneh. Sebab, di lokasi yang mayoritas dihuni umat Tridharma dengan Kelenteng sebagai tempat ibadah, masjid di kawasan Pecinan Semarang memang sulit ditemukan.

Ternyata, di sebuah gang sempit yang sarat dengan rumah penduduk tepatnya di Kampung Menyananan Kecil nomor 309 Jalan Beteng kawasan Pecinan Semarang, berdiri sebuah masjid bernama An-Nur. Namun siapa sangka, jika ternyata masjid kecil tersebut memiliki nilai sejarah tinggi dan telah menjadi salah satu benda cagar budaya Kota Semarang.

“Masjid ini bernama An-Nur Diponegoro. Konon diberi nama seperti itu karena dulu masjid ini digunakan oleh Pangeran Diponegoro untuk mengaji pada masa penjajahan Belanda,” ujar Sumarno, 45, salah satu pengurus Takmir Masjid An-Nur Menyanan Semarang mengawali obrolan.

Masjid tersebut, lanjut Sumarno, diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. Dibangun kira-kira pada tahun 1600 masehi oleh sekelompok kecil warga muslim China yang berada di daerah itu. Namun, masjid yang lebih dikenal dengan nama Masjid Menyanan itu baru ditemukan oleh warga sekitar tahun 1960-an.

“Dulunya, masjid ini tidak terlihat karena tertutup pagar tinggi rumah orang pecinan yang mayoritas tinggal di sini. Lalu tiba-tiba seorang warga bernama Kyai Mashud menemukan masjid ini,” imbuhnya.

Dari cerita yang berkembang, Kyai Mashud menemukan masjid ini melalui mimpi. Saat itu, dirinya ditemui oleh pendiri masjid yakni Kyai Tholib dan mengatakan jika ada tempat ibadah umat muslim di kawasan Pecinan yang merupakan petilasan Pangeran Diponegoro.

“Setelah mencarinya, Kyai Mashud kemudian menemukan masjid An-Nur tersebut. Saat ditemukan, kondisi masjid sudah tidak terawat. Sebab, sebagian besar bangunan masih didominasi oleh kayu,” kata dia.

Baru kemudian warga meminta agar pemilik lahan tersebut menyerahkan masjid untuk dikelola dan dipugar oleh masyarakat. Setelah disetujui, warga kemudian bahu membahu memugar masjid dan digunakan sebagai pusat peribadatan umat muslim di kawasan Pecinan Semarang.

“Masjid dipugar kembali, meski ada bagian-bagian yang masih asli dipertahankan. Bangunan masjid yang asli adalah kayu blandar atau kayu untuk menyangga genting. Namun karena saat ini dipugar, kayu itu kami simpan dan kami ganti dengan replikanya,” terangnya.

Meskipun berada di tengah mayoritas masyarakat yang menganut Tridharma, namun kegiatan di Masjid Menyanan tersebut terus ramai. Masyarakat, kata Sumarno, tidak pernah bergesekan karena semuanya menjunjung tinggi toleransi.

Selain memiliki nilai sejarah, Sumarno juga mengatakan jika Masjid An-Nur ini menjadi simbol toleransi antar umat beragama di Kota Semarang. Meski berada di lingkungan mayoritas pemeluk agama lain, namun aktivitas umat Islam di masjid itu juga berjalan lancar.

“Alhamdulillah toleransi di sini sangat dijunjung tinggi dan terbina dengan baik. Bahkan dalam pembangunan masjid saat ini, ada salah satu pihak yayasan kelenteng di sekitar sini ada yang mau menyumbang. Ini bentuk keharmonisan kami yang terbangun selama ini,” ungkapnya.

(NS) Laporan: Andi Pujakesuma
  1. Cagar Budaya
  2. Pernik Ramadan
KOMENTAR ANDA